Pembahasan mengenai tubuh, jiwa dan roh merupakan hal klasik yang terus menantang refleksi teologis dan filosofis. Sejak awal sejarah manusia, pertanyaan mengenai hakikat manusia selalu mengarah pada hubungan antara fisik, kesadaran, dan daya hidup yang bersumber dari Sang Pencipta. Ditinjau dari antropologis biblis bahwa tubuh, jiwa dan roh merupakan tiga dimensi eksistensial yang berbeda peran, namun selalu menyatu satu kesatuan yang utuh
1. Tubuh adalah keadaan nyata fisik yang tampak atau wadah yang menyatakan manusia hadir dan berinteraksi dengan dimensi materi.
2. Jiwa dalam pemahaman klasik maupun kontemporer, pemahaman sebagai kesadaran: pengalaman pusat subjektif, kemauan, dan pengendalian atau rasionalitas.
3. Roh pada dasarnya adalah nafas kehidupan dan menguatkan eksistensi manusia sebagai makhluk hidup.
Fenomena misalnya pingsan bisa membantu menjelaskan perbedaan peran ini. Ketika seseorang kehilangan kesadaran, tubuhnya tetap berfungsi dan napas masih keluar dan masuk paru-paru. Roh masih menyatu dengan tubuh, namun jiwa yang merupakan kesadaran reflektif dengan seolah-olah “terlepas” dari wadah/tubuh fisik. Ketika napas (roh) benar-benar meninggalkan tubuh manusia itu akan disebut mati, tubuh akan kembali menjadi debu berdasarkan hukum kodrati ciptaan. Fenomena ini mengilustrasikan sesungguhnya dimensi ketiga itu tidak identik meskipun saling menyatu.
Menjadi pertanyaannya: mengapa dalam tradisi tertentu, khususnya dalam perjanjian lama, roh dan jiwa selalu diartikan sama? Jawabannya terletak pada bahasa Ibrani. Istilah nephesh (jiwa) dan ruach (roh) selalu dipakai secara bergantian menuju realitas batiniah manusia yang tidak bisa dilihat secara fisik. Kejadian. 2:7 Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan memberikan nafas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi makhluk hidup. Napas hidup ini dapat dipahami juga sebagai roh (daya vital) dan jiwa (kesadaran eksistensial), yang menjadikan manusia lebih dari sekadar organisme biologis.
Juga pada Mazmur 31:6 Ke dalam tangan-Mulah kuserahkan rohku, Engkau memerdekakan aku, ya Tuhan, Allah yang setia. Ungkapan “roh” pada hal ini menunjuk pada kehidupan batin manusia, yang dalam teks-teks lain juga diidentifikasikan dengan “jiwa”. Demikian juga di teolog Cakrawala. Ibrani kuno, roh dan memandang jiwa sebagai keadaan alam spiritual yang sama: dimensi immaterial yang memberi manusia identitas, kesadaran dan arah transedental.
Dari pandangan penulis, dapat disimpulkan bahwa peran tubuh, jiwa dan roh itu berbeda: tubuh adalah wadah material, jiwa adalah kesadaran reflektif dan Roh adalah napas Ilahi yang menghidupkan. Akan tetapi tradisi biblis tidak selalu membedakan roh dan jiwa secara jelas dan tegas, melainkan selalu menyatuhkannya dalam satu pengertian terkait “daya hidup rohaniah”. Hal ini yang menjelaskan mengapa banyak orang masih menyamakan roh dan jiwa. Kesadaran akan rumit yang saling terkait makna ini justru membuka ruang dialog yang kaya dari Teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan modern mengenai hakikat manusia.
Dalam tradisi Kristen klasik , St. Agustinus memahami manusia merupakan kesatuan substansial antara tubuh dan jiwa. Jiwa menurutnya adalah prinsip yang lebih tinggi dari tubuh, karena di situlah manusia bisa mengenal Allah dan pribadinya sendiri. Roh tidak dipisahkan secara kategoris dari jiwa, melainkan dipahami sebagai dimensi yang sangat intim dari jiwa yang interpersonal dengan Allah.
Sementara St Thomas Aguinas menegaskan konsep anima rasional (jiwa rasional) sebagai bentuk substansial tubuh. Jiwa adalah komitmen kehidupan yang menghimpun seluruh fungsi biologis, psikologis, dan spiritual. Aquinas membedakan spiritus (roh) dan anima (jiwa) namun terus menekan kesatuan organis antara tubuh dan jiwa. Baginya, roh merujuk pada fungsi kecerdasan intelektual dan kehendak serta moral yang mengarahkan manusia kepada Allah, sekaligus mencakup seluruh kesadaran dan dinamika batin jiwa manusia.
Dengan ini St Agustinus maupun St Thomas Aquinas menegaskan yakni manusia bukan sekadar tubuh yang hidup, namun ens spirituale (makhluk Spiritual ) yang berpusat kepada Allah. Pandangan klasik ini menguatkan diskusi biblis bahwa tubuh, jiwa, dan roh tidak dapat dipahami secara terpisah, melainkan dalam kesatuan organis yang memberi jati diri manusia sebagai citra Allah ( imago Dei )
Refleksi ini juga sejalan dengan pemikiran kontemporer. Pater Domi K.Deo. SVD selaku Dewan Pendiri Organisasi Viva DeColores, dalam Buku : Domi K. Deo, Desain jiwa, Jakarta: Gramedia, 2015 menekankan bahwa kajian belum seimbang. Menurutnya, sudah banyak tulisan yang mengulas desain tubuh(dalam ilmu Fisiologi, kedokteran, aborsi, olahraga) dan desain roh/spirit(dalam agama dan teologi) ada juga banyak buku tentang jiwa (dalam filsafat, psikologi, bimbingan konseling dan psikiatri), tetapi hampir semuanya membatasi jiwa pada dimensi yang melekat pada tubuh fisik.Ia menegaskan bahwa buku yang membahas jiwa secara khusus, mendalam dan total masih sangat sedikit. Pandangan ini memperkuat kajian teologis-filosofis tentang jiwa yang tidak hanya dikaitkan dengan tubuh, tetapi juga dipahami dalam ciri-ciri eksistensial dan Transendental.
Oleh karena itu mengamati kembali makna tubuh, jiwa, dan roh dalam perspektif integratif sangatlah mendesak. Tubuh jangan direduksi hanya sebagai materi biologi, jiwa jangan dipersempit pada ranah psikologis dan roh tidak bisa dibatasi hanya pada simbol keagamaan. Ketiganya merupakan manusia yang saling terkait, saling melengkapi, dan bersama-sama membentuk kesatuan hidup manusia yang penuh makna. Kesadaran akan kesatuan ini meneguhkan identitas manusia sebagai ciptaan Allah yang bermanfaat dan mengundang refleksi akademis lintas disiplin ilmu teologis, filsafat, psikologi hingga ilmu kedokteran untuk terus menggali eksistensi manusia.
Dengan memahami tubuh, jiwa dan roh sebagai kesatuan, manusia dipanggil untuk hidup secara utuh sebagai citra Allah yang memuliakan Sang Pencipta.
Tulis Komentar