Iman tumbuh dengan penuh sukacita di SD Inpres Onekore 6 EndeOleh: Kristoforus Dhuka, DC
Iman tumbuh dengan penuh sukacita di SD Inpres Onekore 6 Ende

Ende, 11 Oktober 2025 Hati Gembira di SD Inpres Onekore 6 Ende, Pendidikan Agama Katolik bersama para siswa menghadiri kegiatan belajar yang penuh semangat, tawa, dan doa. Suasana hangat dan penuh kasih mencerminkan pengajaran yang tidak hanya bercerita tentang iman, tetapi juga menghidupkannya melalui tindakan dan perhatian. Hari ini, 11 Oktober 2025, jadwal belajar di sekolah ini menjadi momen penting dalam membentuk hati anak-anak untuk mencintai dan merasakan kasih Tuhan.

Dalam pendidikan dasar, mengajar iman bukan hanya sekadar memberi pengetahuan tentang agama, tetapi juga membentuk hati anak-anak agar mereka bisa mengerti, mencintai, dan hidup dalam kasih Tuhan. Di SD Inpres Onekore 6 Ende, cara mengajar Pendidikan Agama Katolik menunjukkan bagaimana teologi bisa berpadu dengan metode mengajarkan yang baik, menciptakan suasana belajar yang cerdas secara pikiran dan hangat secara spiritual. Ketika saya melihat kegiatan belajar di sekolah ini, yang paling terasa bukanlah cara mengajar atau alat bantu pembelajaran, tetapi hubungan antara guru dan anak-anak. Di ruang kelas sederhana ini, pesan Injil menjadi nyata bukan melalui ceramah panjang, tetapi melalui pelukan hangat, senyuman tulus, dan perhatian penuh kasih. Pendamping bukan hanya menyampaikan iman, tetapi juga menghidupkannya.

Pendidikan iman yang menyentuh hati anak Dalam proses pembelajaran setiap hari, para guru di sekolah Onekore 6 tidak langsung membuka buku pelajaran, tetapi mulai dengan doa dan lagu rohani yang membuat hati anak senang. Anak-anak menyanyi dengan tangan terlipat dan wajah berseri-seri. Di balik tindakan sederhana itu, tersembunyi kesadaran rohani yang mendalam: bahwa Allah adalah sahabat yang selalu menyertai dalam hidup mereka.

Cara yang digunakan oleh para calon guru mengutamakan pengalaman iman yang nyata. Anak-anak diajak untuk menemukan Tuhan bukan hanya melalui kisah-kisah dalam Kitab Suci, tetapi juga melalui tindakan mereka sehari-hari: membantu teman yang kesulitan, menjaga kebersihan lingkungan, dan berbagi makanan dengan sukacita. Secara teologi pastoral, ini adalah bentuk iman yang dihidupi (lived faith), di mana anak-anak belajar mengenali Kristus melalui kasih yang terlihat di sekitar mereka.

Keunggulan lain dari pendekatan ini adalah kemampuan para guru untuk menggabungkan iman Katolik dengan budaya lokal Ende. Di masyarakat Flores, nilai-nilai seperti gotong royong, rasa hormat kepada orang tua, dan rasa syukur atas ciptaan alam adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Calon katekis memanfaatkan nilai-nilai ini sebagai alat untuk menyampaikan ajaran Gereja. Misalnya, ketika membicarakan kasih Allah, guru mengaitkannya dengan kebiasaan masyarakat yang saling membantu di lingkungan mereka, atau ketika membahas tanggung jawab moral, ia mengingatkan pentingnya menjaga kebun dan lingkungan sekitar sebagai tanda rasa syukur atas ciptaan Tuhan. 

Pendekatan kontekstual ini mencerminkan semangat Gaudium et Spes (Konsili Vatikan II), yang menegaskan bahwa iman Kristiani harus berakar dalam budaya dan pengalaman manusia. Dengan pendekatan seperti ini, anak-anak tidak hanya memahami ajaran Katolik secara formal, tetapi juga merasakan bahwa iman adalah bagian dari hidup mereka sehari-hari, sesuatu yang tumbuh bersama identitas lokal dan kebiasaan hidup mereka.

Guru sebagai Penyalur Iman dan Harapan. Dalam pengamatan saya, guru di SD Inpres Onekore 6 memainkan dua peran penting: sebagai pendidik dan penyalur iman serta harapan. Mereka mengajarkan anak-anak untuk berpikir secara kritis, tetapi juga membimbing hati mereka menuju nilai-nilai Kristiani seperti kasih, pengampunan, kejujuran, dan persaudaraan. Di sini terlihat keunggulan pendidikan Katolik, yaitu tidak hanya membentuk kemampuan akademik, tetapi juga jiwa dan karakter anak-anak.

Guru-guru di sekolah ini menyadari bahwa anak-anak hidup di dunia yang berbeda. Dunia digital menawarkan banyak hal menarik dan menghibur. Namun, mereka tidak menolak perubahan ini, melainkan memanfaatkannya secara bijak. Anak-anak diperkenalkan dengan media rohani yang sederhana, seperti video kisah Alkitab, lagu rohani dengan alat musik lokal, dan permainan edukatif yang menguatkan pesan iman. Teknologi digunakan sebagai alat, bukan pengganti nilai-nilai baik.

Refleksi untuk Gereja dan Dunia Pendidikan. Dari pengalaman mengajar di SD Inpres Onekore 6 Ende, kita belajar bahwa pendidikan agama Katolik tetap relevan jika dijalankan dengan pendekatan kontekstual, relasional, dan penuh kasih. Gereja melalui sekolah dasar seperti ini sedang membangun fondasi spiritual bangsa: menumbuhkan generasi yang beriman, berakhlak, serta memiliki kesadaran sosial yang tinggi.

Dari sudut pandang akademik, praktik ini menunjukkan penerapan nyata dari paradigma teologi pastoral pendidikan, di mana iman bukan hanya bahan pelajaran, tetapi pengalaman hidup yang dialami bersama. Anak-anak bukan hanya penerima pengetahuan, tetapi subjek aktif yang turut serta dalam proses pembentukan iman mereka sendiri. Di tengah krisis moral dan budaya yang cepat berubah di dunia anak, model pembelajaran seperti ini menjadi harapan baru.

Dari ruang kelas kecil di Ende, kita melihat Gereja masih bekerja dengan cara sederhana: melalui rasa sayang dan doa yang tulus. Foto bersama dan anak-anak tersebut menjadi simbol harapan: bahwa iman bisa tumbuh di mana pun, bahkan di kelas kecil dengan papan tulis sederhana, selama ada hati yang bersedia mengajar dengan cinta dan contoh hidup yang baik.



Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)