Perna atau tidak kamu berpikir bahwa hidup ini sebenarnya untuk apa?
Padahal kita semua tahu bahwa suatu hari nanti kita pasti mati. Tapi kenapa harus jalanin hidup, kadang kita mikir waktu tidak punya uang, uang yang paling penting, tidak punya rumah ya rumah yang paling penting, tidak punya apa-apa ya pengen punya sesuatu. Kalau sakit baru sadar bahwa sehat itu yang paling berharga, hidup itu waktunya tidak panjang sekitar 30.000 hari saja, kalau tidak dijalani dengan baik bisa berhenti kapan saja, lihat saja selebriti atau orang terkenal, banyak yang pergi di usia 30-an atau 40-an. Dijalan hidup dan mati tidak ada yang muda atau tua, kaya atau miskin jadi jangan pikirin uang, pikir juga kita bisa hidup berapa lama. 50 tahun lagi mungkin tubuh kita sudah jadi tanah. Kalau dipikir lagi masalah kecil yang bikin kita stres, masih layak dipusingkan tidak. Dulu waktu kecil PR belum selesai rasanya dunia mau kiamat, lulus SMA tidak diterima di universitas bagus, rasanya hidup berhenti, sekarang dilihat lagi ternyata semua itu bisa dilewati. Uang hilang bisa dicari lagi, pekerjaan hilang bisa diganti, cinta yang hilang bisa ditemui. Tapi kalau diri sendiri tidak ada, semuanya akan berhenti. Kita mengejar rumah, pekerjaan, cinta, dan pengakuan, tapi lupa menikmati langkah yang sedang dijalani. Padahal, kalau direnungkan lebih dalam, hidup itu tidak diukur dari panjangnya waktu, melainkan dari kedalaman makna yang kita isi di dalamnya. Filsuf Jerman, Martin Heidegger, pernah mengatakan bahwa manusia adalah “ada yang menuju kematian” (Sein-zum-Tode). Artinya, kesadaran bahwa kita akan mati justru membuat kita hidup dengan lebih sungguh. Yang tersisa hanyalah jejak kebaikan dan ketulusan yang kita tinggalkan selama masih diberi napas. Namun ketika diri kita hilang saat hati kehilangan arah, atau jiwa kehilangan makna segalanya berhenti. Itulah sebabnya, yang paling penting bukanlah apa yang kita miliki, tapi bagaimana kita menghargai hidup itu sendiri. Hidup yang baik bukan berarti hidup yang sempurna. Hidup yang baik adalah ketika kita bisa tidur nyenyak di malam hari, bangun dengan rasa syukur di pagi hari, bekerja dengan hati yang ikhlas, dan menikmati makanan di atas meja tanpa rasa iri. Sesederhana itu. Hidup bukan untuk dipersulit, tapi untuk dijalani dengan kesadaran dan keikhlasan. Kita tidak perlu mengejar yang mustahil, cukup jalani yang mungkin. Kita tidak perlu menjadi orang lain, cukup menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Seperti kata Viktor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning, Manusia tidak pernah menderita karena hidup yang singkat, tetapi karena kehilangan makna dalam hidup itu sendiri. Syukuri setiap napas, setiap kesempatan, setiap orang yang hadir di sekitar kita. Sebab ketika akhirnya waktu berhenti, hanya makna dan cinta yang akan tetap tinggal. Jadi jangan banding-bandingkan mobil, rumah, materi, dan gelar. Sebab mobil dan rumah yang terakhir kita adalah ambulance, gelar terakhir kita adalah almarhum. Maka bandingkan saja, siapa yang bisa hidup lebih lama, sehat dan puas dengan hidupnya. Hargai dengan apa yang kita punya sekarang lepaskan keinginan-keinginan yang mustahil dicapai. Hidup itu yang nyaman buat kita itulah yang terbaik. Orang lain hidup, kita juga hidup santai saja, malam bisa tidur, pagi bisa bangun, ada kerjaan ada makan ada rumah itu sudah cukup. Jadi jalani saja nikmati hidup seadanya.
Vivat Cor Jesu In Cordibus Hominum❤️????️????
Tulis Komentar