Beberapa waktu lalu, saya sedang mangkal Ojek, saya lihat di lorong kecil berhadapan terminal pasar Bajawa. Di tepi trotoar, duduk seorang bapak tua dengan pakaian lusuh, menjual permen dan korek api. Tak banyak orang yang menoleh ke arahnya. Mereka sibuk menunduk ke layar ponsel, bergegas menuju tempat kerja, atau sekadar berpura-pura tidak melihat. Saya hampir saja lewat begitu saja, tapi entah kenapa niat saya jadi berhenti. Ketika saya menatap wajahnya, matanya menatap balik ke saya lemah, tapi hangat. Dalam tatapan itu, saya merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan: bukan sekadar rasa kasihan, melainkan sebuah perjumpaan.
Teringat Kata-kata Yesus: segala sesuatu yang kamu lakukan untuk saudaramu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku (Matius 25:40) Ayat itu tiba-tiba menjadi nyata di depan mata saya. Saya sadar, selama ini saya terlalu sibuk mencari Tuhan di tempat-tempat megah di gereja yang penuh cahaya lilin, dalam lagu rohani, atau di antara doa-doa panjang. Tapi hari itu, saya menemukannya di trotoar, di tengah bau asap kendaraan dan suara bising pasar. Dalam hati kecil saya, terngiang ajaran Paus Fransiskus dalam ensiklik Fratelli Tutti (2020) yang mengatakan bahwa “setiap manusia memiliki martabat yang tak tergantikan, dan Tuhan hadir dalam diri setiap orang, terutama mereka yang miskin dan terlupakan.
Saya menyadari, bapak tua di depan saya itu bukan sekadar orang miskin ia adalah ikon kehadiran Allah yang diam-diam berbicara lewat kesederhanaan dan luka hidupnya. Tuhan ternyata tidak selalu hadir dalam keheningan doa, tetapi juga dalam suara lemah seseorang yang meminta perhatian. Ia hadir dalam setiap manusia yang sering kita abaikan mereka yang dianggap tidak penting, tidak berharga, tidak layak disebut bagian dari keberhasilan. Padahal, di sanalah wajah-Nya tinggal.
Sejak hari itu, saya mulai belajar memperlambat langkah. Saya mencoba melihat lebih dalam pada orang-orang di sekitar saya: ada juga ibu yang menggendong anak sambil berjualan sayur pucuk labu, anak-anak yang membantu orangtuanya di jalan, dan orang tua yang duduk sendirian menatap sore. Saya mulai menyadari bahwa Tuhan hidup di antara mereka yang kita anggap kecil. Pada pemikiran Jean Vanier (2021) dalam bukunya Community and Growth. Ia menulis bahwa “perjumpaan dengan orang yang lemah adalah jalan menuju transformasi batin; di situlah kita belajar menjadi manusia.
Vanier mengajarkan saya bahwa, setiap tatapan kasih pada sesama yang rapuh adalah cara Tuhan membentuk hati yang lembut dan penuh belas kasih. Tuhan tidak bersembunyi di langit tinggi. Ia hadir dalam wajah manusia yang berjuang setiap hari. Ia berbicara melalui air mata yang tak terdengar, melalui tangan yang lelah, dan melalui senyum kecil yang tetap muncul meski dunia tak peduli. Henri Nouwen (2020) dalam karyanya The Wounded Healer menulis, pelayan sejati bukanlah yang menyembunyikan lukanya, tetapi yang menjadikan lukanya tempat perjumpaan kasih Allah. Kata-kata ini menguatkan saya: mungkin Tuhan ingin saya berhenti mencari kesempurnaan, dan mulai berbagi kasih dari luka-luka yang saya alami sendiri agar saya pun menjadi tanda kecil dari kasih-Nya bagi orang lain. Dan saya belajar satu hal penting: Mengenal Tuhan bukan soal seberapa sering kita berdoa, tetapi seberapa dalam kita berani mengenali kasih-Nya di wajah sesama yang menderita. Kadang, Tuhan tidak datang untuk dijumpai Ia menunggu untuk dikenali dalam diri orang yang kita abaikan.
Maka menjadi Refleksi pribadi saya, setiap kali saya menatap mata mereka yang terhina dan menangis, saya sedang menatap wajah Tuhan sendiri. Dan setiap kali saya mengulurkan tangan, aku sedang belajar mencintai seperti Dia mencintai diam-diam, tanpa pamrih, tapi sungguh nyata. Untuk Kita Semua mungkin hari ini sedang melewati seseorang di pinggir jalan. Mungkin akan melihat seorang ibu yang menunduk letih di bawah terik matahari, atau anak kecil yang menjual tisu dan Kolak dengan senyum malu-malu. Cobalah berhenti sejenak bukan untuk memberi uang, tapi untuk menatap dengan kasih. Dalam tatapan itu, ada perjumpaan yang bisa mengubah cara kita melihat dunia.
Kita tidak perlu menjadi santo atau orang Kudus untuk mengasihi. Cukup menjadi manusia yang mau melihat manusia lain dengan mata Tuhan. Sebab cinta yang kecil secangkir air, seulas senyum, sapaan lembut bisa menjadi doa paling indah yang kita ucapkan di dunia ini. Maka dengan ini, saya ingin berjalan lebih pelan agar tidak melewatkan Tuhan yang hadir di jalan, di pasar, di rumah sakit, atau di hati seseorang yang sedang diam-diam menahan tangis. Karena saya percaya, setiap kali saya menatap wajah sesama dengan kasih, saya sedang menatap wajah Tuhan sendiri.
Tulis Komentar